Berapa pihak yang pernah mendekati Dee untuk memfilmkan Filosofi
Kopi? Mengapa akhirnya jatuh ke Angga Dwimas Sasongko/Visinema?
Waktu itu ada tiga pihak yang serius untuk membeli hak adaptasi
Filosofi Kopi. Saya berbincang dengan masing-masing pihak untuk mengetahui ide
dan visi mereka atas film Filosofi Kopi nanti. Bagi saya, ide dan visi Angga
terasa fresh dan “beyond” sekadar produk
film saja. Angga sudah berbicara tentang “user-generated-movie” untuk
melibatkan para penonton ikut mengambil beberapa keputusan artistik film, dsb.
Sejauh ini, eksekusi dari pihak Angga memang memuaskan dan inovatif. Filosofi
Kopi tidak dikreasikan sebatas film saja, tapi meliputi aktivasi-aktivasi yang
memperkuat Filosofi Kopi sebagai brand. Secara
konten, Angga juga sejalan dengan saya untuk melebarkan cerita Filosofi Kopi,
jadi tidak patuh sepenuhnya pada cerita asli.
Kriteria apa yang membuat Dee bersedia karya-karyanya untuk
dijadikan film? Dan sebaliknya, kriteria apa yang membuat Dee menolak?
Saya lihat keseriusan mereka dan kesiapan mereka untuk membuat
film dengan production value yang
bagus. Dari pertemuan dan bincang-bincang mengenai konsep, saya juga akan
menilai chemistry-nya nyambung atau
enggak, karena saya harus merasa nyaman kerja bareng mereka. Lalu, secara
kreatif, ke arah mana mereka akan membawa cerita asli. Tentu, itu semua
mengandung unsur trial and error, semakin
ke sini saya juga semakin belajar untuk mengetahui proporsi keterlibatan yang
pas, dan parameter apa saja yang penting untuk dijadikan pertimbangan.
Tentang proses adaptasi buku Dee ke film, apakah keputusan
terbesar ada di penerbit atau di pengarang, apakah bisa lanjut bila pengarang
menolak/tidak merestui? Kompensasi apa yang didapat oleh pengarang?
Dalam kasus saya, keputusan menerima/menolak sepenuhnya ada di
tangan penulis. Itu memang bergantung dari kontrak antara penulis dan penerbit.
Saya dengar ada juga kontrak penulis-penerbit yang mengikat penerbit untuk ikut
punya hak kalau karya penulisnya difilmkan. Kontrak saya tidak seperti itu.
Kompensasi yang didapat penulis sama seperti royalti. Biasanya dibayar putus di
depan, jadi semacam advanced royalty. Ada
juga yang menawarkan prosentase / bonus dalam jumlah tertentu ketika jumlah
penonton mencapai angka X. Tapi kompensasi utamanya biasanya dibayar di duluan
di depan. Ketika penulis sudah dibeli hak adaptasinya, sebetulnya urusan utama
dengan produser selesai sampai di situ. Kalau di jalan tahu-tahu pengarang
menolak atau tidak memberi restu, menurut saya itu hanya akan jadi tindakan
moril saja, tidak berpengaruh kepada urusan legal, kecuali kalau pengarang
memutus kontrak yang tentu ada konsekuensi hukum dan finansialnya.
Menurut Dee, seberapa perlu pengarang terlibat aktif dalam versi
film dari tulisannya?
Bergantung keinginan dan kapasitas penulisnya, sih. Juga
bergantung dari keinginan produser. Menurut saya, yang paling ideal pengarang
dilibatkan dalam pembangunan cerita. Bukan hanya secara informal tapi
benar-benar dimasukkan secara struktural jadi opininya nggak cuma numpang
lewat. Tapi, ada produser yang tidak ingin “direcoki” oleh penulis. Dan, ada
juga penulis yang benar-benar tidak mau terlibat, atau malah ingin terlibat
penuh sebagai produser bahkan penulis skenario. Kalau saya, paling tidak
inginnya terlibat sebagai konsultan cerita secara formal. Menulis skenario atau
memproduseri, itu bergantung dari saya punya kapasitasnya dan punya waktunya
atau enggak. Seringnya karena saya harus fokus pada pekerjaan lain, saya tidak
melibatkan diri terlalu dalam, karena begitu terjun, pekerjaan menulis buku
juga harus terhenti dulu.
Ikut main di Perahu Kertas, apakah itu keterlibatan terbesar Dee
di film dibandingkan judul-judul lain (Madre, Rectoverso, Supernova, Filosofi
Kopi)? Sunil Soraya sempat menyatakan ia bolak-balik konsultasi ke Dee
dalam proses pembuatan skenario Supernova. Apakah semua filmmaker berbuat yang
sama dengan Dee?
Keterlibatan saya di Perahu Kertas memang paling besar, karena
saya sampai menulis skenario, jadi cameo, review hasil editing, dan ikut
menyusun dan menyumbang lagu untuk OST. Waktu Supernova, Sunil konsultasi
secara informal beberapa kali. Rectovero juga informal tapi jauh lebih
intensif, saya diajak diskusi oleh para sutradara dan kasih masukan ke skenario
dan hasil editing. Madre, bisa dibilang saya tidak terlibat sama sekali, sempat
kasih masukan satu kali setelah baca skenario, tapi tidak terlalu mempengaruhi
hasil akhir filmnya. Filosofi Kopi, saya secara formal terlibat sebagai
konsultan cerita dan menulis dua lagu untuk OST-nya.
Ada niat membuat skenario sendiri berdasarkan tulisan Dee?
Ada. Saya cukup jatuh cinta dengan proses penulisan skenario. Tapi
tidak bisa saya lakukan dalam waktu dekat. Mau konsentrasi menyelesaikan
Supernova 6 dulu.
Apa sebenarnya yang menyebabkan karya-karya Dee baru difilmkan
dalam tiga tahun terakhir ini secara berdekatan, padahal Dee sudah terbitkan
karya sejak lebih dari satu dekade yang lalu?
Pertanyaan bagus. Saya pun tidak tahu kenapa.
Pernah dapat tawaran adaptasi film untuk karya tulisan Dee yang
belum terbit/belum selesai?
Ada. Tapi saya belum berani mengikatkan diri dalam kontrak karena
saya ingin menyelesaikan Supernova 6 dulu, kalau saya sampai berkomitmen
menyelesaikan buku lain demi adaptasi, Supernova 6 pasti terbengkalai untuk 1-2
tahun lagi. Saya nggak mau itu.
Sudah adakah karya Dee yang lain yang siap difilmkan?
Ada yang sedang dalam tahap penjajakan. Kita lihat nanti.
Pertanyaan tambahan, apakah Dee masih mengerjakan proyek musik?
Masih, sebenarnya terpicu oleh film Filosofi Kopi. Gara-gara
menulis dua lagu dan menyanyikannya sendiri, akhirnya jadi bikin single untuk
dirilis sebentar lagi. Mungkin bakal dicicil untuk jadi album. We’ll see.
Tambahan satu lagi, apa film favorit Dee sepanjang masa?
Serial Lords of the Rings. The Matrix. Shawshank Redemption.