Saya pernah bertemu Anda
di Indonesia Book Fair dan Anda menyatakan bahwa Anda sendiri bingung akan
genre dari buku-buku Anda, terutama pentalogi Supernova ini. Mengapa?
Saya rasa genre lebih merupakan persoalan penerbit ketimbang
penulis. Saya tidak terlalu sepakat sebetulnya kalau Supernova disebut fiksi
ilmiah, karena basis saya menulis Supernova sebetulnya lebih ke spiritualitas
ketimbang ilmiah, tapi sekali lagi, itu lebih menjadi opini dan “pe-er” dari
pengamat dan penerbit. Apa pun genrenya, pada dasarnya saya hanya menuliskan
apa yang saya suka.
Pembaca pasti tertarik
akan gaya Anda yang menggabungkan romansa dan ilmiah. Ada alasan mengapa Anda
menggabungkan dua hal yang menurut saya sendiri akan susah untuk digabungkan?
Sederhananya, karena itu kedua tema yang saya suka. Saya
menggabungkannya bukan untuk memikat pembaca, melainkan untuk memuaskan diri
saya sendiri terlebih dahulu.
Apa suka dan duka Anda
menulis pentalogi Supernova ini? Terlebih lagi seri ini merupakan salah satu
buku kontroversial di Indonesia yang membahas LGBT, kehidupan dewasa, dan hal-hal
terlarang seperti ganja.
Saya rasa “membahas” beda dengan “menyetujui” atau
“mengadvokasi”. Saya senang menulis sesuatu yang membuat orang berpikir dan
meninjau ulang. Bukan demi pembaca menyepakati. Dukanya lebih karena sulit untuk
membuat novel serial, dibutuhkan stamina yang kuat dan napas yang panjang untuk
bisa bertahan. Sukanya karena puas mengerjakannya.
Siapa inspirasi Anda?
Dan juga penulis yang sangat Anda hormati karyanya?
Inspirasi saya bukan orang tertentu, melainkan kehidupan itu
sendiri. Banyak penulis yang saya suka. Yang bisa saya sebut salah satunya
adalah Sapardi Djoko Damono.
Kesatria, Putri, dan
Bintang Jatuh sudah dirilis sebagai film. Bisakah Anda menyatakan tentang
bagaimana bisa Anda mempunyai ide untuk menjadikan buku ini sebagai sebuah film
dan kesan Anda setelah film ini dirilis?
Yang punya ide adalah produser, sebenarnya. Mereka kemudian
mengajukan penawaran untuk membeli hak adaptasi. Jadi, ide itu bukan berawal
dari saya. Kesan saya untuk film KPBJ adalah film itu dibuat dengan kesungguhan
dan berhasil menampilkan visual yang indah, ada beberapa catatan mengenai
dialog dan jalan cerita, tapi secara keseluruhan film itu cukup membanggakan.
Apakah ada pemikiran
untuk membuat Akar, Petir, Partikel, Gelombang, dan buku keenam Anda yang
berjudul Inteligensi Embun Pagi sebagai sebuah film?
Sekali lagi, itu bergantung ada produser yang berminat atau
tidak. Menjadikan buku saya film tidak pernah menjadi tujuan saya. Kalau ada
yang berminat, tentunya akan saya jajaki dulu. Kalau memang ada kecocokan maka
bisa tercipta kerjasama.
Di buku-buku Anda,
saya menangkap bahwa Anda sangat menyukai ilmu tentang tidur dan hal-hal
spiritual lainnya. Mengapa?
Lucid dreaming sebetulnya
baru diungkap hanya di buku Gelombang, sebelumnya tidak pernah. Kalau hal yang
spiritual, memang itu selalu menjadi minat saya, bahkan menjadi alasan untuk
menulis Supernova. Kenapa? I don’t know
for sure. Bagi saya, perihal itu penting dan menantang untuk ditelusuri.
Apa kunci sukses Anda
selama ini?
Melakukan apa yang dicinta, menjalankannya dengan tekun,
selalu memelihara rasa ingin tahu dan mau belajar.
Ada pesan-pesan untuk
calon penulis remaja sebagai generasi penerus? Terutama untuk kami, anak-anak
dari klub menulis Sekolah HighScope Indonesia.
Tulis apa yang ingin kalian baca. Temukan tema yang paling
kalian suka, dan tekun berlatih dan menggali. Menulis adalah keahlian yang tak
akan habis dipelajari seumur hidup. Jangan cepat puas.