Untuk saat ini kegiatan apa saja yang
sedang dijalani oleh Dee?
Saat ini saya sedang menjalankan kegiatan promosi Supernova 6
(Inteligensi Embun Pagi).
Kami sangat mengangumi karya-karya
Dee yang sudah diangkat ke layar lebar, apa bisa diceritakan awal mula novel
pertama Dee bisa diangkat ke layar lebar?
Adaptasi buku saya ke film diawali dengan Perahu Kertas. Perahu Kertas
juga mengawali kerja sama perdana saya dengan Bentang Pustaka (yang sekarang
menjadi penerbit semua karya saya). Saat itu, ada beberapa penerbit yang
sama-sama tertarik dengan naskah Perahu Kertas. Bentang sudah datang bersama
Mizan Pictures, yang langsung menawarkan adaptasi ke layar lebar. Dari semua
karya saya, Perahu Kertas menurut saya adalah yang paling potensial untuk
dijadikan format visual, entah itu film atau serial, jadi saya menyambut
tawaran itu. Sejak Perahu Kertas, tawaran lain bermunculan.
Bagaimana proses yang dijalani
untuk membawa sebuah novel ke layar
lebar?
Produser membeli hak adaptasi dari penulis. Sebetulnya itu saja.
Setelahnya adalah rangkaian proses seperti layaknya produksi film. Penulis
terlibat atau tidak itu bergantung dari kesepakatan yang terjadi antara penulis
dan produser.
Apa Dee terlibat langsung dalam
produksi film dari novel-novelnya?
Tidak semua, hanya Perahu Kertas yang sampai menulis skenario. Sisanya
saya hanya sebatas konsultasi, ada yang jadi konsultan formal (terikat
kontrak), dan ada juga yang tidak.
Tantangan tersulit seperti apa
sih yang pernah dihadapi dalam pembuatan film yang diangkat dari novel Dee?
Sebetulnya mungkin pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh produser
sebagai yang membuat film. Bagi saya, kalau saya tidak terlibat, otomatis tidak
ada tantangan yang berarti, saya mirip dengan posisi penonton. Tapi, tentu,
ketika saya menjadi penulis skenario, misalnya. Saya menghadapi tantangan untuk
mengonversi buku menjadi skenario. Dan sebagai penulis skenario saya harus
berkompromi dengan keinginan dan kepentingan banyak orang. Jadi bisa dibilang,
tantangan itu baru muncul ketika saya ikut terlibat, dan tantangannya adalah
sejauh apa yang peran saya di sana.
Adakah bagian yang cukup sulit divisualkan dari isi novel (
karakter, tempat, pemain, dll)?
Lagi-lagi, saya rasa ini pertanyaan yang lebih pas ditujukan ke para
pembuat film. Secara umum kesulitan pertama adalah di adaptasi cerita,
bagaimana bahasa dan struktur cerita dari buku kemudian menjadi bahasa dan
struktur film, karena keduanya tidak persis sama. Dari cerpen biasanya yang
terjadi justru pengembangan, sementara kalau dari novel yang terjadi biasanya
sebaliknya.
Pengalaman paling berkesan
seperti apa yang pernah dirasakan oleh Dee
saat membuat proyek film dari novel?
Saya paling menikmati justru bagian bikin soundtrack, karena membuat
lagunya jadi terasa mudah ketika kita dibantu visual/adegan. Dan, ada kepuasan
ketika lagu yang kita buat terasa padu dengan film.
Menurut pendapat Dee dari seluruh
novel yang diangkat ke layar lebar, yang paling mendekati imajinasi saat menulis
ada pada film yang mana, dan mengapa?
Beda semua sih sebetulnya. Termasuk Filosofi Kopi yang menurut saya
adaptasinya paling bagus. Tapi mirip atau tidak dengan imajinasi orisinal saya
sebetulnya bukan tolok ukur untuk keberhasilan sebuah adaptasi film. Yang lebih
penting adalah mengadaptasinya menjadi film yang enak ditonton. Itu saja.
Seperti yang kita ketahui bahwa
penggemar buku biasanya sering kali kecewa jika karya sebuah buku yang di film
kan dianggap tidak sesuai, Sejauh ini adakah pengemar yang protes dengan hasil
visualisasi yang diangkat dari novel ke layar lebar? Dan, bagaimana
menghadapinya?
Penggemar pasti ada yang protes, dan itu hal yang wajar. Pada dasarnya
para pembuat film yang mengadaptasi dari buku harus bersaing dengan imajinasi
pembaca, dan sejak awal itu adalah persaingan yang tidak fair karena tidak
mungkin sebuah film memvisualisasikan keinginan semua orang dengan sempurna.
Saya menghadapinya sih relatif santai saja, karena tahu itu pasti akan terjadi.
Tidak juga ada pihak yang bisa disalahkan. Tidak ada yang bisa mencegah
penonton untuk tidak datang dengan keinginan membandingkan. Tidak mungkin juga
bagi pembuat film untuk memuaskan keinginan semua orang. Pada akhirnya menurut
saya film adalah film, tolok ukurnya bagus atau nggak bagus. Bukan mirip atau
nggak mirip dengan buku.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada
seluruh produser dan sutradara yang membuat film Dee, dari keseluruan novel
yang diangkat ke layar lebar, film apa yang kira-kira berada sedikit atau di luar
jalur konten isi novel yang mungkin
membuat Dee sedikit menyayangkan?
Sebetulnya semua tidak ada yang persis sama. Yang saya suka sekalipun,
tetap ada kontennya yang keluar dari konten asli. Bagi saya sebetulnya berada
di luar jalur tidak menjadi masalah. Kita harus memahami bahwa film yang
diangkat dari karya tulis merupakan adaptasi, bukan fotokopi. Tapi, saya punya
catatan khusus untuk Madre. Saya menyayangkan tokoh Tansen di dalam film ditulis
sedemikian rupa hingga melakukan aksi yang “mencederai” karakternya. Ketika
tokoh utama digembosi seperti itu, kekuatan cerita secara keseluruhan jadi
memudar, menurut saya.
Dalam waktu dekat ini adakah
rencana untuk kembali mengangkat karya Dee kembali ke layar lebar?
Rencananya Filosofi Kopi akan dibuat sekuel oleh Visinema Pictures.
Saya akan menjadi konsultan cerita saja. Jika tidak ada halangan, maka sekuel
tersebut akan dirilis akhir tahun ini.