Monday, May 9, 2016

Qubicle Center - SLATE | Mengangkat Novel Ke Layar Lebar | Maret, 2016 | by Nanda Elvina


Untuk saat ini kegiatan apa saja yang sedang dijalani oleh Dee?

Saat ini saya sedang menjalankan kegiatan promosi Supernova 6 (Inteligensi Embun Pagi).

Kami sangat mengangumi karya-karya Dee yang sudah diangkat ke layar lebar, apa bisa diceritakan awal mula novel pertama Dee bisa diangkat ke layar lebar?

Adaptasi buku saya ke film diawali dengan Perahu Kertas. Perahu Kertas juga mengawali kerja sama perdana saya dengan Bentang Pustaka (yang sekarang menjadi penerbit semua karya saya). Saat itu, ada beberapa penerbit yang sama-sama tertarik dengan naskah Perahu Kertas. Bentang sudah datang bersama Mizan Pictures, yang langsung menawarkan adaptasi ke layar lebar. Dari semua karya saya, Perahu Kertas menurut saya adalah yang paling potensial untuk dijadikan format visual, entah itu film atau serial, jadi saya menyambut tawaran itu. Sejak Perahu Kertas, tawaran lain bermunculan.

Bagaimana proses yang dijalani untuk membawa sebuah novel  ke layar lebar?

Produser membeli hak adaptasi dari penulis. Sebetulnya itu saja. Setelahnya adalah rangkaian proses seperti layaknya produksi film. Penulis terlibat atau tidak itu bergantung dari kesepakatan yang terjadi antara penulis dan produser.

Apa Dee terlibat langsung dalam produksi film dari novel-novelnya?

Tidak semua, hanya Perahu Kertas yang sampai menulis skenario. Sisanya saya hanya sebatas konsultasi, ada yang jadi konsultan formal (terikat kontrak), dan ada juga yang tidak.

Tantangan tersulit seperti apa sih yang pernah dihadapi dalam pembuatan film yang diangkat dari novel Dee?

Sebetulnya mungkin pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh produser sebagai yang membuat film. Bagi saya, kalau saya tidak terlibat, otomatis tidak ada tantangan yang berarti, saya mirip dengan posisi penonton. Tapi, tentu, ketika saya menjadi penulis skenario, misalnya. Saya menghadapi tantangan untuk mengonversi buku menjadi skenario. Dan sebagai penulis skenario saya harus berkompromi dengan keinginan dan kepentingan banyak orang. Jadi bisa dibilang, tantangan itu baru muncul ketika saya ikut terlibat, dan tantangannya adalah sejauh apa yang peran saya di sana.

Adakah bagian  yang cukup sulit divisualkan dari isi novel ( karakter, tempat, pemain, dll)?

Lagi-lagi, saya rasa ini pertanyaan yang lebih pas ditujukan ke para pembuat film. Secara umum kesulitan pertama adalah di adaptasi cerita, bagaimana bahasa dan struktur cerita dari buku kemudian menjadi bahasa dan struktur film, karena keduanya tidak persis sama. Dari cerpen biasanya yang terjadi justru pengembangan, sementara kalau dari novel yang terjadi biasanya sebaliknya.

Pengalaman paling berkesan seperti apa  yang pernah dirasakan oleh Dee saat membuat proyek film dari novel?

Saya paling menikmati justru bagian bikin soundtrack, karena membuat lagunya jadi terasa mudah ketika kita dibantu visual/adegan. Dan, ada kepuasan ketika lagu yang kita buat terasa padu dengan film.

Menurut pendapat Dee dari seluruh novel yang diangkat ke layar lebar, yang paling mendekati imajinasi saat menulis ada pada film yang mana, dan mengapa?

Beda semua sih sebetulnya. Termasuk Filosofi Kopi yang menurut saya adaptasinya paling bagus. Tapi mirip atau tidak dengan imajinasi orisinal saya sebetulnya bukan tolok ukur untuk keberhasilan sebuah adaptasi film. Yang lebih penting adalah mengadaptasinya menjadi film yang enak ditonton. Itu saja.

Seperti yang kita ketahui bahwa penggemar buku biasanya sering kali kecewa jika karya sebuah buku yang di film kan dianggap tidak sesuai, Sejauh ini adakah pengemar yang protes dengan hasil visualisasi yang diangkat dari novel ke layar lebar? Dan, bagaimana menghadapinya?

Penggemar pasti ada yang protes, dan itu hal yang wajar. Pada dasarnya para pembuat film yang mengadaptasi dari buku harus bersaing dengan imajinasi pembaca, dan sejak awal itu adalah persaingan yang tidak fair karena tidak mungkin sebuah film memvisualisasikan keinginan semua orang dengan sempurna. Saya menghadapinya sih relatif santai saja, karena tahu itu pasti akan terjadi. Tidak juga ada pihak yang bisa disalahkan. Tidak ada yang bisa mencegah penonton untuk tidak datang dengan keinginan membandingkan. Tidak mungkin juga bagi pembuat film untuk memuaskan keinginan semua orang. Pada akhirnya menurut saya film adalah film, tolok ukurnya bagus atau nggak bagus. Bukan mirip atau nggak mirip dengan buku.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada seluruh produser dan sutradara yang membuat film Dee, dari keseluruan novel yang diangkat ke layar lebar, film apa yang kira-kira berada sedikit atau di luar jalur konten isi novel  yang mungkin membuat Dee sedikit menyayangkan?

Sebetulnya semua tidak ada yang persis sama. Yang saya suka sekalipun, tetap ada kontennya yang keluar dari konten asli. Bagi saya sebetulnya berada di luar jalur tidak menjadi masalah. Kita harus memahami bahwa film yang diangkat dari karya tulis merupakan adaptasi, bukan fotokopi. Tapi, saya punya catatan khusus untuk Madre. Saya menyayangkan tokoh Tansen di dalam film ditulis sedemikian rupa hingga melakukan aksi yang “mencederai” karakternya. Ketika tokoh utama digembosi seperti itu, kekuatan cerita secara keseluruhan jadi memudar, menurut saya.

Dalam waktu dekat ini adakah rencana untuk kembali mengangkat karya Dee kembali ke layar lebar?

Rencananya Filosofi Kopi akan dibuat sekuel oleh Visinema Pictures. Saya akan menjadi konsultan cerita saja. Jika tidak ada halangan, maka sekuel tersebut akan dirilis akhir tahun ini.