Film
Filosofi Kopi
Sejauh
mana sih keterlibatan Dee sebagai penulis cerpen dalam pembuatannya?
Peran saya di Filosofi Kopi semacam
produser konsultan. Dari mulai pembangunan cerita awal, supervisi skenario,
hingga datang ke reading. Angga Sasongko (sutradara/produser film Filosofi
Kopi) sangat membuka diri dan memang ingin melibatkan saya dalam proses
penggarapan cerita. Saya tidak ikut di produksi yang sifatnya teknis, jadi
fokus di penceritaan saja.
Apakah
Dee juga akan masuk frame seperti film Perahu Kertas 1?
Sejauh ini belum ada rencana. Tapi
kemungkinan besar enggak.
Dalam
film, dimunculkan tokoh El atau tokoh yg sebelumnya tidak
ada dalam cerpen. Apakah Dee yang memberi rekomendasi atau memang sudah menjadi
keputusan tim produksi? Apa sebenarnya alasan dimunculkannya El dalam film Filosofi Kopi? Apakah agar cerita menjadi 'segar' atau memang
ada isu lain yg ingin diangkat melalui tokoh El?
Dari awal saya sudah mengusulkan adanya
“orang ketiga” dalam konstelasi karakter Filosofi Kopi. Tujuannya sih supaya
cerita bisa berkembang lebih kaya dan dramatis. Ini memang tipikal kalau film
diadaptasi dari cerpen, biasanya terjadi pengembangan. Pada novel, yang terjadi
biasanya sebaliknya, pengurangan. Kebetulan, Angga dan Jenny (penulis skenario)
juga berpikir sejalan. Jadi, dari masih tahap sinopsis, tokoh ini sudah kita
putuskan bakal ada. Tentu, masuknya tokoh El harus punya tujuan kuat untuk
membangun cerita, jadi nggak hanya pemanis saja.
Hampir seluruh karya Dee kini diangkat menjadi film, apakah rencananya Petir, Akar, Partikel, dan Gelombang juga akan difilmkan?
Belum ada kontrak apa-apa untuk serial
Supernova berikutnya. We’ll see.
Adakah kekhawatiran Dee akan adanya reaksi 'mainstream' penonton yg biasanya berkomentar "filmnya nggak sesuai sama cerpennya" atau "lebih bagus cerpennya daripada filmnya" mengingat penonton Indonesia saat ini kurang dapat memaknai ungkapan 'adaptasi novel atau cerpen' dalam sebuah film?
Itu sepertinya sudah rutinitas yang
harus dijalani, sih. Film itu pasti ada yang suka dan tidak. Terlepas itu
diangkat dari buku atau bukan. Jadi, film dari buku pun sama saja pada dasarnya,
bakal ada yang suka dan enggak, cuma ada variasi komentar “lebih bagus” atau
“lebih jelek” atau “mirip” sama bukunya. Ada komparasi. Saya rasa, di seluruh
dunia juga sama, nggak hanya di Indonesia. Itu memang sudah nasibnya film hasil
adaptasi. Saya nggak terlalu khawatir mirip/enggak dengan buku sih, lebih
khawatir kalau filmnya jelek.
Karya Sastra
Beberapa kritikus sastra beranggapan karya-karya Dee masuk dalam genre abu-abu, antara karya sastra dan karya populer. Bagaimana Dee menanggapinya?
Sepertinya memang posisi saya demikian.
Sejujurnya, saya tidak menyengajakannya juga. Dikotomi karya sastra dan karya
pop adalah hal yang tidak menjadi pertimbangan ketika saya berkarya. Saya lebih
tertarik ke persoalan membangun cerita dan cara bercerita. Mungkin, pendekatan
saya demikian karena begitu jugalah ekspektasi saya terhadap sebuah buku.
Ceritanya memikat atau tidak. Itu saja. Mau itu sastra atau bukan, saya nggak
peduli. Dan kayaknya itu memang lebih baik jadi tugas kritikus. Tidak usah menjadi beban
penulis.
Apakah
menurut Dee pengelompokan genre sastra itu menjadi penting dalam kiblat
penulisan sebuah karya?
Penting bagi telaah sastra dan
kategorisasi di toko buku. Kalau kiblat penulisan, yang saya lihat hanya
konten. Ketertarikan saya sangat acak, dari mulai komik Jepang, kajian UFO,
sampai buku puisi Sapardi. Saya nggak pernah fanatik terhadap satu genre
tertentu.
Apakah
menurut Dee segmentasi pembaca juga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
dikamar-kamarkannya karya sastra?
Segmentasi pembaca itu banyak basisnya, bisa dari usia,
gender, kelas ekonomi, dsb. Saya nggak tahu persis bagaimana kausalitas
segmentasi pembaca dengan kategori buku, pengaruh sih pasti ada, tapi kayaknya
ini lebih relevan bagi pelaku industri buku seperti penerbit, toko buku, dan
sebagainya. Kritikus juga punya tugas dan sudut pandangnya sendiri. Kalau buat
saya pribadi, semua itu tidak mempengaruhi proses kreatif saya. Dibuat
“kamar-kamar” boleh, tidak juga tidak apa-apa.