1. Apa rasanya jatuh cinta (dengan Reza Gunawan) lagi?
Reza adalah sahabat terbaik saya, bahkan sebelum kita pacaran dan menikah. I feel so blessed to experience this companionship with him.
2. Saat Anda memutuskan untuk menikah lagi, apa pertimbangan Anda?
Sejujurnya saya nggak tahu pasti. Lebih seperti intuisi. Jadi bukan pertimbangan logis atau matematis bahwa ini poin positifnya berapa, negatifnya berapa, penjelasannya gimana, dsb. Pokoknya, itulah yang saya rasakan sebagai sesuatu yang ‘pas’ bagi saya saat itu, dan juga saat ini, tapi ujungnya apa… kita nggak pernah tahu.
3. Apa yang Anda pelajari dari kegagalan pernikahan Anda sebelumnya?
Bahwa segala sesuatu indah pada waktunya, baik itu perjumpaan maupun perpisahan. Bahwa kejujuran, bagi saya, lebih penting daripada sekadar kebersamaan. Bahwa hubungan cinta, bagi saya, adalah sesuatu yang realistis dan ‘hidup’, bukan konsep mati dan pajangan sosial. Bahwa otentik pada diri kita sendiri jauh lebih mendamaikan daripada cuma bikin masyarakat senang.
4. Percayakah Anda dengan istilah "soulmate"?
Menurut saya, “soulmate” adalah salah satu istilah yang terlalu diromantisir. Hehe. Bagi saya pribadi, “soulmate” tidaklah tunggal, melainkan jamak. Setiap orang dan setiap hal yang hadir untuk mendewasakan jiwa kita, ya itulah “soulmate”. Jadi jumlahnya tidak satu, dan punya banyak konteks. Saya dengan orang tua dan keluarga saya di kehidupan sekarang ini, misalnya, mereka juga “soulmate[s]” saya. Jadi konteksnya tidak harus dengan pasangan hidup saja.
5. Apa Keenan tahu bahwa bapak dan ibunya sudah berpisah? Pengertian seperti apa yang Anda coba sampaikan padanya?
Keenan sekarang baru berusia 4 tahun. Jangankan konsep perceraian, konsep pernikahan saja tentunya anak sebesar dia belum ngeh. Menurut pengalaman dan pengamatan saya selama ini, di usia anak seperti Keenan penjelasan bukanlah hal utama. Dia lebih melihat kenyataan dan contoh langsung, bukan memahami penjelasan. Sama halnya kalau saya mau mencontohkan makan yang tertib, bukan dengan dijelaskan, tapi dengan saya peragakan langsung. Barulah dia paham. Jadi saya belum pernah menjelaskan verbal ke Keenan mengenai perpisahan orang tuanya ataupun keluarga barunya dengan Reza, saya hanya menunjukkan dari hari ke hari bagaimana ayah dan ibunya tidak bersama lagi, tapi kami berdua masih berhubungan baik dan dia bisa menemui ayahnya kapan saja. Jadi dia masih merasa secure dan tidak kehilangan. Saya juga pelan-pelan memperkenalkan Reza dan membiarkan Keenan dan Reza menemukan “chemistry” mereka secara alamiah. Nggak dipaksakan. Begitu juga ketika memperkenalkan Keenan ke oma-opanya yang baru (orang tua Reza), ya alamiah aja. Sampai akhirnya Keenan malah yang nagih ingin ke rumah oma-opanya bahkan senang bermalam di sana.
6. Apakah pandangan Anda tentang media massa berubah, setelah kasus perceraian Anda menjadi berita hangat?
Sejak lama saya memang menyadari bahwa media massa tidak ada yang objektif, meskipun kredonya demikian. Kebetulan saya kuliah politik jadi secara teoritis saya paham bahwa memang media massa pada dasarnya adalah drama-maker, tapi yang dirangkai adalah potongan kehidupan nyata, fakta, opini, dsb. Jenis drama apa yang ingin ditampilkan, ya disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan dari medianya. Dan saya mengalami sendiri bagaimana fakta bisa disetir dan dirangkai untuk memenuhi kebutuhan media, terutama media hiburan. Pelajaran utamanya adalah: jangan sepenuhnya percaya apa yang kita baca dan kita dengar, justru kita harus senantiasa mempertanyakan apa yang kita baca dan kita dengar. Dan, bagi saya, dengan pendekatan seperti kita bisa lebih kritis dan jernih dalam memilah informasi.
7. Apakah benar, kehadiran Keenan sedikit banyak memengaruhi proses menulis Anda?
Setelah punya anak, cara kerja saya memang berubah. Saya nggak lagi fanatik dengan menulis subuh atau menulis malam. Sekarang saya belajar menulis kapan saja dan di mana saja, sesuai dengan sempatnya saya. Tadinya saya sempat ragu, bisa atau enggak. Tapi ternyata bisa, dan saya malah lebih merasa sehat dengan cara kerja seperti itu. Baik fisik maupun mental. Karena keseimbangan hidup saya jadi lebih terjaga, fisik saya juga nggak terlalu diforsir.
8. Belakangan Anda sering diajak menjadi pembicara di berbagai acara/seminar tentang meditasi. Sejak kapan Anda mendalami meditasi dan apa yang membuat Anda tertarik untuk menjalaninya? Adakah 'live turning event' yang menguatkan keinginan Anda untuk mempelajari meditasi?
Ketertarikan saya pada spiritualitas (dan di dalamnya termasuk meditasi) dimulai sudah cukup lama sebetulnya, dari tahun 1999 tepatnya. Saya pernah belajar meditasi selewat melalui yoga dan reiki, tapi baru tahun 2006 saya mulai serius belajar. Pertama kali saya ikut Mindfulness Retreat dengan Master Thich Nhat Hanh tahun 2006, waktu itu retreatnya diadakan di Hongkong. Pada tahun yang sama, saya ikut retreat meditasi vipassana (meditasi untuk mengenal diri) di Vihara Mendut. Dan dari sana hingga sekarang saya cukup rutin meditasi, baik melalui praktek harian maupun ikut retreat maupun pelatihan. Sekarang ini saya praktek mingguan juga di Meditasi Rabu yang kebetulan dibimbing Reza.
Tahun 1999 saya melepaskan konsep “lama” saya tentang Tuhan, agama, dsb, dan mulai mencari sendiri. Kalau dulu kan saya ikut-ikut saja apa yang dibilang orang, lingkungan, dsb. Nah mulai tahun 1999 saya kembali ke diri saya sendiri, dan mulai mencari dari sana. Kalau untuk meditasi sendiri, boleh dibilang setelah sekian tahun membaca literatur tentang spiritualitas dan meditasi, akhirnya saya haus untuk berpraktek dan mengalami sendiri. Dan itulah yang menguatkan keinginan saya untuk bermeditasi.
9. Apa manfaat meditasi yang Anda rasakan dalam kehidupan sehari-hari?
Lebih peka dan jujur pada diri sendiri. Lebih memahami jerat-jerat pikiran dan perasaan yang kadang bisa membelenggu dan memabukkan, dan lebih memahami bahwa segala sesuatu yang di luar sana adalah hasil bentukan mental kita sendiri. Jadi, meditasi membantu saya lebih bertanggung jawab atas hidup saya sendiri.
10. Saat aktivitas Anda padat, bagaimana Anda mencari waktu untuk bermeditasi?
Meditasi sebetulnya tidak sebatas pada duduk diam. Segala kegiatan bisa jadi meditasi, yang penting kita menyadari sepenuhnya, baik itu makan, berjalan, bernyanyi, masak, dsb. Saya sih selalu mengupayakan minimal dalam 1 hari itu ada kegiatan meditatifnya, mau itu duduk diam, menyadari napas, atau melakukan relaksasi ringan. 10 menit dicicil 3x sehari, misalnya.
11. Apakah Anda percaya pada kekuatan pikiran?
Semesta ini adalah kumpulan energi, dan energi mengikuti gerak pikiran (thought). Jadi, ibarat kuda dan pedati, pikiranlah kuda yang menggiring pedati ke mana2. Masalahnya, pikiran kita seringkali tidak jernih, liar, dan tidak disadari, karena kita terlalu sering mengidentifikasikan diri kita dengan pikiran kita. Padahal pikiran, meski punya kekuatan, hanyalah fenomena. Masih dualitas. Cuma keelingan atau awareness-lah yang bisa membantu kita melihat semua fenomena itu dengan jernih.
12. Bagi Anda, apakah menulis mempunyai efek yang sama dengan meditasi?
Menulis dapat menjadi kegiatan meditatif, jika dilakukan dengan meditatif. Jadi bukan sembarang menulis. Saya punya sebuah buku tentang kepenulisan dari seorang pemeditasi Zen (Natalie Goldberg). Di sana dikatakan bahwa: menulis, jika dilakukan dengan meditatif, akan membantu kita untuk menghadapkan diri kita yang sejati. Dan saya setuju itu.
13. Kegiatan menulis dan meditasi, menimbulkan kesan bahwa Anda orang yang serius. Sementara dari tulisan-tulisan Anda (termasuk di blog), sisi humoris seorang Dewi Lestari justru jelas terlihat. Apakah bisa dibilang bahwa proses menulis merupakan upaya Anda
untuk menyeimbangkan diri?
Hehe, yah itu namanya ‘kesan’ saja. Meditasi tidak identik dengan keseriusan kok. Justru orang yang terlalu serius malah bisa kesulitan dalam praktek meditasinya. Dalam meditasi tertentu, kita bisa tertawa segila-gilanya dan bertingkah sekonyol-konyolnya. Yang penting disadari. Jadi meditasi bukan masalah “serius” atau “nggak serius”, tapi disadari atau tidak. Humor menurut saya adalah bentuk sifat ilahiah yang sangat sakral. Tuhan, kalau di mata saya, adalah Maha Humoris. Saya nggak ada upaya khusus untuk menyeimbangkan diri, tapi ya itulah faset-faset yang ada pada saya. Saya, seperti halnya semua orang, punya banyak sisi atau faset.
14. Menurut Anda, adakah perbedaan yang Anda rasakan saat menulis blog dengan menulis buku?
Tujuan awal saya membuat blog adalah membuat wadah bagi tulisan-tulisan saya yang tidak tertampung dalam wadah buku. Jadi bentuk tulisan dalam blog lebih seperti artikel lepas, kontemplasi pendek, dsb. Satu hari nanti, bukannya nggak mungkin tulisan saya di blog akan dibukukan. Jadi perbedaan utamanya hanya dalam bentuk format aja. Kalau rasa menulisnya sama. Tulisan panjang atau pendek, untuk diterbitkan atau enggak, dalam proses mentahnya terasa sama, kok. Dalam metafora saya, seperti memancing di kolam inspirasi. Sama-sama ada tarik menarik antara diri saya dengan Sang Sumber tersebut.
Menjelaskan Air Mata
1 year ago